PAD Naik Tipis, Beban Pajak Melonjak: Bapenda Pekanbaru Dipertanyakan, Ke Mana Uang Rakyat Mengalir? - SUARA HATI PUBLIK

Sabtu, 20 Desember 2025

PAD Naik Tipis, Beban Pajak Melonjak: Bapenda Pekanbaru Dipertanyakan, Ke Mana Uang Rakyat Mengalir?


Suara Hati Publik My.Id| PEKANBARU
— Sekretaris Umum DPP Solidaritas Pers Indonesia (SPI), Sabam Tanjung, melontarkan kritik keras terhadap kinerja Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Pekanbaru yang kini berganti nama menjadi Badan Pendapatan Daerah (Bapenda). Sebagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang menjadi tulang punggung Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Pekanbaru dari sektor pajak, Bapenda dinilai gagal menerjemahkan potensi besar menjadi penerimaan daerah yang optimal.


Sabam menilai klaim Bapenda yang menyebutkan PAD tahun 2025 meningkat dibandingkan 2024 tidak mencerminkan realitas di lapangan, bahkan terkesan paradoksal. Pasalnya, masyarakat justru dibebani kenaikan pajak yang sangat signifikan, khususnya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang melonjak hingga 300 persen sejak diberlakukannya Perda Nomor 1 Tahun 2024.


“Logikanya sederhana. Tarif pajak dinaikkan drastis, objek pajak melimpah, tetapi PAD hanya naik tipis. Maka pertanyaannya jelas: ke mana uang pajak rakyat itu mengalir?” tegas Sabam.


Ia mengingatkan, kebijakan penyeragaman tarif PBB menjadi 0,3 persen untuk seluruh NJOP, yang sebelumnya berada di kisaran 0,1–0,2 persen, telah memicu gelombang protes publik. Namun ironisnya, lonjakan beban pajak tersebut tidak berbanding lurus dengan peningkatan PAD yang seharusnya melonjak signifikan.


Padahal, Bapenda Pekanbaru mengelola tidak kurang dari 11 jenis pajak daerah, mulai dari PBB-P2, PBJT (makanan-minuman, listrik, hotel, parkir, hiburan), BPHTB, pajak air tanah, reklame, hotel, restoran, hiburan, parkir, hingga pajak sarang burung walet dan mineral bukan logam. Seluruh sektor ini merupakan sumber strategis PAD yang semestinya mampu menopang keuangan daerah secara kuat.


Sorotan semakin tajam ketika Sabam menyinggung isu lama yang tak kunjung tuntas, seperti dugaan upah pungut (saving) pada masa Kepala Dispenda Zulhemi Arifin, termasuk isu pencairan insentif hingga Rp1,3 miliar untuk Wali Kota Pekanbaru yang sempat ditangani Kejaksaan Negeri Pekanbaru, namun hingga kini tanpa kejelasan hukum.


Tak hanya itu, kasus reklame tak berizin yang dibongkar Satpol PP di awal masa jabatan Wali Kota Agung Nugroho juga belum menghasilkan kepastian. Besaran kerugian daerah tidak pernah diumumkan secara transparan, dan hingga kini tak satu pun tersangka ditetapkan.


Sektor pajak parkir bahkan dinilai sebagai potret paling telanjang dari gagalnya pengelolaan potensi PAD. Di tengah pertumbuhan kendaraan dan aktivitas ekonomi yang masif, kontribusi pajak parkir terhadap PAD Pekanbaru hanya sekitar 2 persen dan stagnan selama bertahun-tahun.


Sabam mencontohkan Bandara Sultan Syarif Kasim II (SSK II) Pekanbaru. Sejak 1 Februari 2020, sistem pembayaran parkir telah beralih dari tunai ke non-tunai, dengan potensi penerimaan parkir mencapai sekitar Rp1 miliar per bulan. Namun, yang masuk sebagai pajak daerah hanya sekitar 30 persen atau Rp.300 juta, sehingga dalam setahun PAD yang diterima daerah diperkirakan hanya Rp3,6 miliar, sementara sisanya mengalir ke pengelola.


Padahal, tarif parkir Bandara SSK II yang berlaku sejak 15 Februari 2023 tergolong tidak murah.

Untuk mobil, tarif sebesar Rp6.000 untuk 1 jam pertama dan Rp2.000 per jam berikutnya.

Untuk sepeda motor, Rp3.000 untuk 1 jam pertama dan Rp1.000 per jam berikutnya

Sementara bus atau truk dikenakan Rp8.000 untuk 1 jam pertama dan Rp5.000 per jam berikutnya, serta mobil inap Rp20.000 untuk 6 jam pertama dan Rp5.000 per jam berikutnya.


“Dengan tarif seperti itu, ditambah peningkatan jumlah kendaraan setiap tahun, publik wajar bertanya: selama lima tahun terakhir, sebenarnya berapa realisasi pajak parkir Bandara SSK II yang masuk ke kas daerah?” ujar Sabam.


Lebih ironis lagi, parkir tepi jalan yang jumlahnya sangat masif hingga kini masih dikelola secara manual, minim pengawasan, dan rawan kebocoran. Banyak titik parkir bahkan tidak tercatat sebagai objek pajak, sementara wacana digitalisasi tak kunjung diwujudkan secara serius.


Menutup pernyataannya, Sabam menegaskan bahwa persoalan PAD Pekanbaru bukan terletak pada potensi, melainkan pada tata kelola, transparansi, dan keberanian pemerintah daerah untuk berbenah.


“Jika kendaraan terus bertambah, tarif pajak dinaikkan, tetapi PAD tidak bergerak signifikan, maka yang bermasalah bukan rakyat. Yang bermasalah adalah sistem dan lemahnya pengawasan,” pungkasnya.

Comments


EmoticonEmoticon